Dalam pembangunan, sumber alam merupakan komponen
yang penting karena sumber alam ini memberikan kebutuhan
asasi bagi kehidupan. Dalam penggunaan sumber alam tadi hendaknya keseimbangan
ekosistem tetap terpelihara. Acapkali meningkatnya kebutuhan proyek
pembangunan, keseimbangan ini bisa terganggu, yang kadang-kadang bisa
membahayakan kehidupan umat.
Kerugian-kerugian dan perubahan-perubahan
terhadap lingkungan perlu diperhitungkan, dengan keuntungan yang diperkirakan
akan diperoleh dari suatu proyek pembangunan. Itulah sebabnya dalam setiap
usaha pembangunan, ongkos-ongkos sosial untuk menjaga kelestarian lingkungan
perlu diperhitungkan. Sedapat mungkin tidak memberatkan kepentingan umum masyarakat
sebagai konsumen
hasil pembangunan tersebut.
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan dalam
mengambil keputusan-keputusan demikian, antara lain adalah kualitas dan
kuantitas sumber daya alam
yang diketahui dan diperlukan; akibat-akibat dari pengambilan sumber kekayaan
alam termasuk kekayaan hayati dan habisnya deposito kekayaan alam tersebut.
Bagaimana cara pengelolaannya, apakah secara tradisional atau memakai teknologi
modern, termasuk pembiayaannya dan pengaruh proyek pada lingkungan, terhadap
memburuknya lingkungan serta kemungkinan menghentikan pengrusakan lingkungan
dan menghitung biaya-biaya
serta alternatif lainnya.
Hal-hal tersebut di atas hanya merupakan sebagian
dari daftar persoalan, atau pertanyaan yang harus dipertimbangkan bertalian
dengan setiap proyek pembangunan. Juga sekedar menggambarkan masalah lingkungan
yang masih harus dirumuskan kedalam pertanyaan-pertanyaan konkrit yang harus
dijawab. Setelah ditemukan jawaban-jawaban yang pasti atas pertanyaan-pertanyaan
tadi, maka disusun pedoman-pedoman kerja yang
jelas bagi pelbagai kegiatan pembangunan baik berupa industri atau bidang lain
yang memperhatikan faktor perlindungan lingkungan hidup.
Maka dalam rangka pembangunan dan pemanfaatan
sumber-sumber alam yang dapat diperbaharui, hendaknya selalu diingat dan
diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Generasi yang akan datang harus tetap mewarisi suatu alam yang masih penuh sumber kemakmuran untuk dapat memberi kehidupan kepada mereka.
- Tetap adanya keseimbangan dinamis diantara unsur-unsur yang terdapat di alam.
- Dalam penggalian sumber-sumber alam harus tetap dijamin adanya pelestarian alam, artinya pengambilan hasil tidak sampai merusak terjadinya autoregenerasi dari sumber alam tersebut.
- Perencanaan kehidupan manusia hendaknya tetap dengan lingkungan dan terciptanya kepuasan baik fisik, ekonomi, sosial, maupun kebutuhan spiritual.
Selain itu, dalam perencanaan dan pelaksanaan
proyek pembangunan dan penggalian sumber daya alam untuk kehidupan harus
disertai dengan:
- Strategi pembangunan yang sadar akan permasalahan lingkungan hidup, dengan dampak ekologi yang sekecil-kecilnya.
- Suatu politik lingkungan se-Indonesia yang bertujuan mewujudkan persyaratan kehidupan masyarakat Indonesia yang lebih baik untuk puluhan tahun yang akan datang (kalau mungkin untuk selamanya).
- Eksploitasi sumber hayati didasarkan tujuan kelanggengan atau kelestarian lingkungan dengan prinsip memanen hasil tidak akan menghancurkan daya autoregenerasinya.
- Perencanaan pembangunan dalam rangka memenuhi kebutuhan penghidupan, hendaknya dengan tujuan mencapai suatu keseimbangan dinamis dengan lingkungan hingga memberikan keuntungan secara fisik, ekonomi, dan sosial spiritual.
- Usahakan agar sebagian hasil pembangunan dapat dipergunakan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan akibat proyek pembangunan tadi, dalam rangka menjaga kelestraian lingkungan.
- Pemakaian sumber alam yang tidak dapat diganti, harus sehemat dan seefisien mungkin.
Pengertian AMDAL dan Pengaturannya dalam Tata Hukum Indonesia
Analisis mengenai dampak lingkungan
atau Environmental Impact Analysis (EIA) muncul sebagai jawaban atas
keprihatinan tentang dampak negatif dari kegiatan manusia, khususnya pencemaran
lingkungan akibat kegiatan industri pada tahun 1960-an. Sejak itu AMDAL
telah menjadi alat utama untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan manajemen
yang bersih lingkungan dan selalu melekat pada tujuan pembangunan yang
berkelanjutan.
AMDAL pertama kali diperkenalkan pada tahun 1969
oleh National Environmental Policy Act di Amerika Serikat. Menurut UU
No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP no 27 tahun 1999
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup. Jika Indonesia mempunyai
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harus dibuat jika seseorang
ingin mendirikan suatu proyek yang diperkirakan akan memberikan dampak besar
dan penting terhadap lingkungan, Belanda pun mempunyai milieu effect
apportage disingkat m.e.r.
Sebenarnya Indonesia dan Belanda bukanlah
penemu sistem
ini, tetapi ditiru dari Amerika Serikat yang diberi nama Environmental
Impact Assesment (EIA). AMDAL adalah kajian mengenai dampak besar dan
penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup
yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha
dan/atau kegiatan.
Pada dasarnya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
(AMDAL) adalah keseluruhan proses yang meliputi penyusunan berturut-turut
sebagaimana diatur dalam PP nomor 27 tahun 1999 yang terdiri dari:
- Kerangka Acuan (KA) adalah ruang lingkup kajian analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang merupakan hasil pelingkupan.
- Analisis Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) adalah telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak besar dan penting suatu rencana usaha atau kegiatan.
- Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) adalah upaya penanganan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat dari rencana usaha dan atau kegiatan.
- Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) adalah upaya pemantauan komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar dan penting akibat dari rencana usaha atau kegiatan.
Sehubungan dengan prosedur/tata laksana AMDAL,
Peraturan Pemeritah Nomor 27 Tahun 1999 telah menetapkan mekanisme yang harus
ditempuh sebagai berikut:
- Pemrakarsa menyusun Kerangka Acuan (KA) bagi pembuatan dokumen AMDAL. Kemudian disampaikan kepada Komisi AMDAL. Kerangka Acuan tersebut diproses selama 75 hari kerja sejak diterimanya oleh komisi AMDAL. Jika lewat waktu yang ditentukan ternyata Komisi AMDAL tidak memberikan tanggapan, maka dokumen Kerangka Acuan tersebut menjadi sah untuk digunakan sebagai dasar penyusunan ANDAL.
- Pemrakarsa menyusun dokumen Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), kemudian disampaikan kepada instansi yang bertanggung jawab untuk diproses dengan menyerahkan dokumen tersebut kepada komisi penilai AMDAL untuk dinilai.
- Hasil penilaian dari Komisi AMDAL disampaikan kembali kepada instansi yang ertanggung jawab untuk mengeluarkan keputusan dalam jangka waktu 75 hari. Apabila dalam jangka waktu yang telah disediakan, ternyata belum diputus oleh instansi yang bertanggung jawab, maka dokumen tersebut tidak layak lingkungan.
- Apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan, ternyata instansi yang bertanggung jawab mengeluarkan keputusan penolakan karena dinilai belum memenuhi pedoman teknis AMDAL, maka kepada pemrakarsa diberi kesempatan untuk memperbaikinya.
- Hasil perbaikan dokumen AMDAL oleh pemrakarsa diajukan kembali kepada instansi yang bertanggung jawab untuk diproses dalam memberi keputusan sesuai dengan Pasal 19 dan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999.
- Apabila dari dokumen AMDAL dapat disimpulakn bahwa dampak
negatif tidak dapat ditanggulangi berdasarkan ilmu dan teknologi,
atau biaya
penanggulangan dampak negatif lebih besar dibandingkan dampak positifnya.
Pasal 16 UULH menyatakan sebagai berikut:
Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak
penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak
lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Dari ketentuan pasal 16 UULH dapat disimpulkan
dua hal yaitu:
- Analisis mengenai dampak lingkungan merupakan bagian dari proses perencanaan, dan instrumen pengambilan keputusan.
- Tidak semua rencana kegiatan itu wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan, yang wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hanyalah yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan.
Untuk mengukur atau menentukan dampak besar dan
penting tersebut diantaranya digunakan kriteria mengenai:
- Besarnya jumlah manusia yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan
- Luas wilayah penyebaran dampak
- Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
- Banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak
- Sifat kumulatif dampak
- Berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak.
Menurut PP No. 27 Tahun 1999 Pasal 3 ayat (1),
usaha dan atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak besar dan
penting terhadap lingkungan hidup meliputi:
- Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam
- Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui
- Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya
- Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
- Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya dan/atau perlindungan cagar budaya
- Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jenis jasad renik
Tujuan AMDAL secara umum adalah menjaga dan
meningkatkan kualitas lingkungan serta menekan pencemaran sehingga dampak
negatifnya menjadi serendah mungkin. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses
AMDAL adalah komisi penilai AMDAL, pemrakarsa dan masyarakat
yang berkepentingan. Komisi penilai AMDAL adalah komisi yang bertugas menilai
dokumen AMDAL. Di tingkat pusat berkedudukan di Kementrian Lingkungan Hidup, di
tingkat Propinsi berkedudukan di Bapedalda atau instansi pengelola lingkungan
hidup Propinsi, dan di tingkat Kabupaten/Kota berkedudukan di Bapedalda/Instansi
pengelola lingkungan hidup kabupaten/Kota.
Unsur pemerintah lainnya yang berkepentingan dan
warga masyarakat yang terkena dampak diusahakan terwakili di dalam Komisi
Penilai ini. Pemrakarsa adalah orang atau badan hukum
yang bertanggung jawab atas suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang akan
dilaksanakan. Masyarakat yang berkepentingan adalah masyarakat yang terpengaruh
atas segala bentuk keputusan dalam proses AMDAL berdasarkan; kedekatan jarak
tinggal dengan rencana usaha dan/atau kegiatan, faktor pengaruh ekonomi,
faktor pengaruh sosial budaya, perhatian pada lingkungan hidup, dan atau faktor
pengaruh nilai-nilai atau norma yang dipercaya. Masyarakat yang berkepentingan
dalam proses AMDAL dapat dibedakan menjadi masyarakat terkena dampak, dan
masyarakat pemerhati.
AMDAL merupakan instrumen pengelolaan lingkungan
yang diharapkan dapat mencegah kerusakan lingkungan dan menjamin upaya-upaya
konservasi. Hasil studi AMDAL merupakan bagian penting dari perencanaan
pembangunan proyek itu sendiri.
Prinsip-Prinsip dalam Penerapan AMDAL
Dalam peraturan penerapan AMDAL
tercermin beberapa prinsip yang dianut, yaitu sebagai berikut:
- Suatu rencana kegiatan yang diperkirakan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup dapat dilaksanakan setelah dipertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan hidup. Dalam prinsip ini terkandung pengertian bahwa dampak lingkungan yang harus dipertimbangkan mencakup semua aspek lingkungan, baik biofisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya yang relevan dengan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan.
- AMDAL merupakan instrumen pengambilan keputusan dan merupakan bagian dari proses perencanaan. Sebagai instrumen pengambilan keputusan, AMDAL dapat memperluas wawasan pengambilan keputusan sehingga dapat diambil keputusan yang paling optimal dari berbagai alternatif yang tersedia. Keputusan itu diambil berdasarkan pertimbangan kelayakan dari segi teknologi, ekonomi dan lingkungan.
- Kriteria dan prosedur untuk menentukan apakah suatu rencana kegiatan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan hidup harus secara jelas dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
- Prosedur AMDAL harus mencakup tata cara penilaian yang tidak memihak.
- AMDAL bersifat terbuka, kecuali yang menyangkut rahasia negara.
- Keputusan tentang AMDAL harus dilakukan secara tertulis dengan mengemukakan pertimbangan pengambilan keputusan.
- Pelaksanaan rencana kegiatan yang AMDAL-nya telah disetujui harus dipantau.
- Penerapan AMDAL dilaksanakan dalam rangka kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup yang dirumuskan secara jelas.
- Untuk menerapkan AMDAL diperlukan aparat yang memadai.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan diperuntukkan
bagi perencanaan program dan proyek. Karena itu AMDAL itu sering pula disebut preaudit.
Baik menurut undang-undang maupun berdasarkan pertimbangan teknis. AMDAL
bukanlah alat untuk mengaji lingkungan setelah program atau proyek selesai dan
operasional. Sebab setelah program atau proyek selesai lingkungan telah
berubah, sehingga garis dasar seluruhnya atau sebagian telah terhapus dan tidak
ada lagi acuan untuk mengukur dampak.
Di dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
seyogyanya arti dampak diberi batasan: perbedaan antara kondisi lingkungan yang
diprakirakan akan ada tanpa adanya pembangunan dan yang diprakirakan akan ada
dengan adanya pembangunan.
Dengan batasan ini dampak yang disebabkan oleh
aktivitas lain di luar pembangunan, baik alamiah maupun oleh manusia tidak ikut
diperhitungkan dalam prakiraan dampak. Dampak meliputi baik dampak biofisik,
maupun dampak sosial-ekonomi-budaya dan kesehatan, serta seyogyanya tidak
dilakukan analisis dampak sosial dan analisis dampak kesehatan lingkungan
secara terpisah dari AMDAL.
Pelaksanaan AMDAL Di Indonesia
Dalam rangka melaksanakan pembangunan berkelanjutan, lingkungan perlu dijaga kerserasian hubungan
antar berbagai kegiatan. Salah satu instrumen pelaksanaan kebijaksanaan
lingkungan adalah AMDAL sebagaimana diatur dalam Pasal 16
UULH. Sebagai pelaksanaan Pasal 16 UULH, pada tanggal 5 Juni 1986 telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan yang mulai berlaku tanggal 5 Juni 1987 berdasarkan Pasal 40 PP
tersebut.
Dalam upaya melestarikan kemampuan lingkungan,
analisis mengenai damapak lingkungan bertujuan untuk menjaga agar kondisi
lingkungan tetap berada pada suatu derajat mutu tertentu demi menjamin
kesinambungan pembangunan. Peranan instansi yang berwenang memberikan keputusan
tentang proses analisis mengenai dampak lingkungan sudah jelas sangat penting.
Keputusan yang diambil aparatur dalam proses administrasi yangditempuh
pemrakarsa sifatnya sangat menentukan terhadap mutu lingkungan, karena AMDAL
berfungsi sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.
Pada waktu berlakunya PP No. 29 Tahun 1986, pemerintah
bermaksud memberikan waktu yang cukup memadai yaitu selama satu tahun untuk
mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan efektifitas berlakunya PP tersebut. Hal ini erat hubungannya
dengan persiapan tenaga ahli penyusun AMDAL. Di samping itu diperlukan pula
waktu untuk pembentukan Komisi Pusat dan Komisi Daerah yang merupakan
persyaratan esensial bagi pelaksanaan PP No. 29 Tahun 1986 tersebut. PP 29
Tahun 1986 kemudian dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993
tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan yang diberlakukan pada tanggal 23
Oktober 1993.
Perbedaan utama antara PP tahun 1986 dengan PP tahun
1993 adalah ditiadakannya dokumen penyajian informasi lingkungan (PIL) dan
dipersingkatnya tenggang waktu prosedur (tata laksana) AMDAL dalam PP yang
baru. PIL berfungsi sebagai filter untuk menentukan apakah rencana kegiatan
dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan atau tidak.
Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan yang bersifat
preventif, AMDAL harus dibuat pada tahap paling dini dalam perencanaan kegiatan
pembangunan. Dengan kata lain, proses penyusunan dan pengesahan AMDAL harus
merupakan bagian dari proses perijinan satu proyek. Dengan cara ini
proyek-proyek dapat disaring seberapa jauh dampaknya terhadap lingkungan. Di
sisi lain, studi AMDAL juga dapat memberi masukan bagi upaya-upaya untuk meningkatkan
dampak positif dari proyek tersebut.
Instrumen AMDAL dikaitkan dengan sistem perizinan. Menurut Pasal 5 PP Nomor 51 Tahun 1993,
keputusan tentang pemberian izin usaha tetap oleh instansi yang membidangi
jenis usaha atau kegiatan dapat diberikan setelah adanya pelaksanaan Rencana
Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) yang telah
disetujui oleh instansi yang bertanggung jawab.
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1993 dimaksudkan
untuk menyempurnakan kelemahan yang dirasakan dalam PP Nomor 29 Tahun 1986
tentang AMDAL. Namun, upaya penyempurnaan itu ternyata tidak tercapai, bahkan
terdapat ketentuan baru yang menyangkut konsekuensi yuridis yang rancu (Pasal
11 ayat (1) PP AMDAL 1993). Meski demikian yang penting dalam PP AMDAL 1993
ialah Studi Evaluasi Dampak Lingkungan (SEMDAL) bagi kegiatan yang sedang
berjalan pada saat berlakunya PP AMDAL 1986 menjadi ditiadakan., sehingga AMDAL
semata-mata diperlukan bagi usaha atau kegiatan yang masih direncanakan.
Selanjutnya PP Nomor 51 Tahun 1993 dicabut dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1999. Dalam PP 27 tahun 1999 ditetapkan 4 jenis studi
AMDAL, yaitu:
- AMDAL proyek, yaitu AMDAL yang berlaku bagi satu kegiatan yang berada dalam kewenangan satu instansi sektoral. Misalnya rencana kegiatan pabrik tekstil, yang mmpunyai kewenangan memberikan ijin dan mengevaluasi studi AMDALnya ada pada Departemen Perindustrian.
- AMDAL Terpadu / Multisektoral, adalah AMDAL yang berlaku bagi suatu rencana kegiatan pembangunan yang bersifat terpadu, yaitu adanya keterkaitan dalam hal perencanaan, pengelolaan dan proses produksi, serta berada dalam satu kesatuan ekosistem dan melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi. Sebagai contoh adalah salah satu kegiatan pabrik pulp dan kertas yang kegiatannya terkait dengan proyek Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk penyediaan bahan bakunya, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk menyediakan energi, dan pelabuhan untuk distribusi produksinya. Di sini terlihat adanya keterlibatan lebih dari satu instansi, yaitu Departemen Perindustrian, Departemen Kehutanan, Departemen Pertambangan dan Departemen Perhubungan.
- AMDAL Kawasan, yaitu AMDAL yang ditujukan pada suatu rencana kegiatan pembangunan yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem dan menyangkut kewenangan satu instansi. Contohnya adalah rencana kegiatan pembangunan kawasan industri. Dalam kasus ini masing-masing kegiatan di dalam kawasan tidak perlu lagi membuat AMDALnya karena sudah tercakup dalam AMDAL seluruh kawasan.
- AMDAL Regional, adalah AMDAL yang diperuntukan bagi rencana kegiatan pembangunan yang sifat kegiatannya saling terkait dalam hal perencanaan dan waktu pelaksanaan kegiatannya. AMDAL ini melibatkan kewenangan lebih dari satu instansi, berada dalam satu kesatuan ekosistem, satu rencana pengembangan wilayah sesuai Rencana Umum Tata Ruang Daerah. Contoh AMDAL Regional adalah pembangunan kota-kota baru.
Secara teknis instansi yang bertanggung jawab dalam
merumuskan dan memantau penyusunan AMDAL di Indonesia adalah BAPEDAL (Badan
Pengendali Dampak Lingkungan). Sebagaimana diatur dalam PP No. 51 tahun 1993,
kewenangan ini juga dilimpahkan pada instansi-instansi sektoral serta BAPEDALDA
Tingkat I. dengan kata lain, BAPEDAL Pusat hanya menangani studi-studi AMDAL
yang dianggap mempunyai implikasi secara nasional. Pada tahun 1999 diterbitkan
lagi penyempurnaan ini adalah dengan memberikan kewenangan proses evaluasi
AMDAL pada daerah. Materi baru dalam PP ini adalah diberikannya kemungkinan
partisipasi masyarakat di dalam proses penyusunan AMDAL.
Dalam sebuah lokakarya regional koordinasi tata
lingkungan wilayah Kalimantan, Ir Hermien Roosita MM, Asisten Deputi Urusan
Pengkajian Dampak Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan bahwa
hanya 119 kabupaten/kota yang memiliki komisi penilai AMDAL dari 474
kabupaten/kota di Indonesia. Dari angka tersebut, hanya 50% yang berfungsi
menilai AMDAL. Sementara 75% dokumen AMDAL yang dihasilkan berkualitas buruk
sampai sangat buruk.
Lebih lanjut disampaikannya bahwa selama ini AMDAL
memerlukan waktu proses sangat cepat, tidak ada penegakan hukum terhadap pelanggar AMDAL,
kontribusi pengelolaan lingkungan yang masih rendah, menjadi beban biaya, dan dipandang sebagai komoditas ekonomi oleh (oknum) aparatur pemerintah,
pemrakarsa atau konsultan. Lebih rusaknya, ketika AMDAL justru hanya sebagai
alat retribusi, bukan sebagai bagian dari sebuah studi kelayakan, sehingga
sering kali ditemui banyak AMDAL yang justru melanggar tata ruang.
Jangka waktu pemrosesan dokumen AMDAL menurut PP No.
29 Tahun 1986 adalah 90 hari, tetapi berdasarkan Pasal 10 PP Nomor 51 Tahun
1993, sanggup selambat-lambatnya 45 hari. Ketentuan tentang jangka waktu terasa
maju, namun sudahkah sesuai dengan realita kemampuan aparatur? Sungguh
mengejutkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) tersebut: “dinyatakan diberikan
persetujuan atas kekuatan PP ini”. Tanpa diproses apakah konsekuensi yuridis
ketentuan seperti itu terhadap prosedur AMDAL? Keruntuhan sistem AMDAL sebagai
instrumen hukum lingkungan yang berfungsi sebagai sarana pencegahan pencemaran
lingkungan.
AMDAL ketika pertama kali dikeluarkan sebagai
sebuah kebijakan yang merupakan bagian kegiatan studi kelayakan rencana
usaha dan/atau kegiatan. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan hidup
digunakan sebagai bahan perencanaan pembangunan wilayah. Namun dikarenakan
minimnya pengetahuan dari pemerintah dan rakyat dalam memahami AMDAL,
menjadikan pemrakarsa dan konsultan menggunakan AMDAL sebagai sebuah dokumen
asal jadi, dan kecenderungan mengutip dokumen AMDAL lainnya sangat tinggi.
Sehingga AMDAL tidak dapat menjadi sebuah acuan kelayakan sebuah kegiatan
berjalan.
Dalam proses penyusunan dokumen AMDAL, sangat sering
ditemui konsultan (tim penyusun) AMDAL meninggalkan berbagai prinsip dalam
AMDAL. Terutama posisi rakyat dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Proses
keterbukaan informasi dijamin oleh kebijakan, di mana Pasal 33 PP No. 27/1999
menegaskan kewajiban pemrakarsa untuk mengumumkan kepada publik dan saran,
pendapat, masukan publik wajib untuk dikaji dan dipertimbangkan dalam AMDAL.
Dan Pasal 34 menegaskan bagi kelompok rakyat yang berkepentingan wajib
dilibatkan dalam proses penyusunan kerangka acuan, penilaian kerangka acuan,
analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup dan
rencana pemantauan lingkungan hidup.
Keterbukaan dan peran serta masyarakat dalam proses
pengambilan keputusan yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan
(khusunya izin lingkungan) perlu dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan.
Peran serta masyarakat oleh seorang kelompok orang (organisasi lingkungan
hidup) atau badan hukum merupakan konsekuensi dari “hak yang sama atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat” sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5
ayat (1) UUPLH
Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertibatan
masyarakat dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL) ini adalah untuk:
- Melindungi kepentingan masyarakat.
- Memberdayakan masyarakat dalam mengambil keputusan atas rencana usaha dan/atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
- Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAL dari rencana usaha dan atau kegiatan.
- Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendapatkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus diketahui pihak lain yang terpengaruh.
Akan tetapi, beberapa ketentuan tentang prosedur
perizinan lingkungan tidak membuka peluang bagi peran serta masyarakat,
sehingga saran dan pemikiran dalam proses pemngambilan keputusan tentang izin
yang mempunyai dampak penting terhadap lingkungan tidak ditampung secara
prosedural.
Dokumen AMDAL (kelayakan lingkungan hidup) yang
merupakan bagian dari kelayakan teknis finansial-ekonomi (Pasal 2 PP No.
27/1999) selanjutnya merupakan syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
ijin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang (Pasal 7 PP No. 27/1999). Dokumen AMDAL merupakan dokumen publik
yang menjadi acuan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang bersifat
lintas sektoral, lintas disiplin, dan dimungkinkan lintas teritorial
administratif.
Namun, dari sisi proses, bila menilik Pasal 20 PP No.
27 Tahun 1999, maka terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dalam persetujuan AMDAL. Dalam ayat
(1) pasal tersebut dinyatakan bahwa instansi yang bertanggung jawab menerbitkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan, dalam
jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup,
dan rencana pemantauan lingkungan hidup. Dan dalam ayat (2) disebutkan apabila
instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud, maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan
dianggap layak lingkungan. Kolusi kemudian bisa terjadi disaat tidak adanya
keputusan tentang persetujuan AMDAL dalam jangka waktu 75 hari, maka secara
otomatis suatu kegiatan dan/atau usaha dianggap layak secara lingkungan.
PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan Hidup ternyata tetap tidak menyempurnakan PP Nomor 51 Tahun
1993. Kekeliruan perumusan dalam Pasal 10 ayat (3) PP Nomor 51 Tahun 1993
tampaknya diabadikan oleh Pasal 20 PP AMDAL 1999.
PP yang menjabarkan UULH ini pada akhirnya hanya
menjadi pelengkap saja. Banyak orang berpendapat bahwa AMDAL seakan-akan
menjadi penyelemat, tetapi sebenarnya AMDAL tidaklah selalu diperlukan karena
AMDAL juga tidak berguna kalau proyek sudah jalan. AMDAL hanya bermanfaat bagi
pembangunan fisik yang belum dilaksanakan. Kenyataannya sekarang di Indonesia,
AMDAL dilakukan tatkala pembangunan fisik sedang berjalan. Akhirnya AMDAL
dijadikan alat pembenaran semata, tidak lebih dari itu. Oleh karna itu tak
heran kalau masih saja ditemukan persoalan lingkungan padahal sudah dibuat
AMDAL-nya.
Sejak dibubarkannya Badan Pengendalian Dampak
Lingkungan, maka kemudian Kementerian Lingkungan Hidup semakin mengecil
perannya dalam upaya pengendalian dampak lingkungan, termasuk dalam pengawasan
AMDAL di berbagai tingkatan. Terlebih lagi, pasca dikeluarkannya PP No. 25
tahun 2000, menjadikan hilangnya mekanisme koordinasi antar wilayah, yang pada
akhirnya menjadikan lingkungan hidup sebagai bagian yang menjadi tidak begitu
penting. Empat kelompok parameter yang terdapat di studi AMDAL , meliputi Fisik
– kimia (Iklim, kualitas udara dan kebisingan; Demografi; Fisiografi;
Hidro-Oceanografi; Ruang; Lahan dan Tanah; dan Hidrologi), Biologi (Flora;
Fauna), Sosial (Budaya; Ekonomi; Pertahanan/keamanan), dan
Kesehatan masyarakat, ternyata juga masih sangat menekankan pada kepentingan
formal saja. Lalu kemudian, permasalahan sosial-budaya dan posisi rakyat
menjadi bagian yang dilupakan.
Satu hal dari proses di Komisi Penilai AMDAL, ketika
ternyata terjadi pembohongan dalam dokumen AMDAL (dalam hal ini saat penilaian
dokumen AMDAL Pembangunan Bandara Udara Sungai Siring ), hanya dianggap sebagai
kesalahan ketik. Permakluman kemudian terjadi dikarenakan kuatnya kepentingan
politis dibalik sebuah rencana kegiatan. Hal ini bukan hanya terjadi sekali.
Dalam beberapa kali diskusi dengan para pihak yang dilibatkan dalam Komisi
Penilai AMDAL, sangat jelas terlihat kerancuan dalam proses penilaian AMDAL.
Tidak adanya kriteria dan indikator penilaian, telah menjadikan proses
penilaian AMDAL menjadi sangat subyektif. Dan kemudian, penilaian yang
sepotong-sepotong pun pada akhirnya menjadikan aspek dampak lingkungan hidup
(sebagai sebuah komponen yang komprehensif) menjadi bagian yang sengaja untuk
dilupakan.
Posisi kelayakan kegiatan dari AMDAL, sebenarnya
sangat tergantung pada kelompok Akademisi atau para ahli yang dilibatkan dalam
Komisi Penilai AMDAL. Ketika kemudian independensi (kebebasan ikatan) dari
akademisi dalam menilai dokumen diikat saat kelompok ini pun menjadi konsultan
penyusun AMDAL, telah menjadikan kelompok akademisi atau para ahli tidak lagi
profesional dalam mengambil keputusan.
AMDAL yang pada awalnya ingin menaikkan posisi tawar
lingkungan hidup dalam berkehidupan, kemudian malah berkontribusi terhadap
hilangnya hak lingkungan hidup. Setiap kali sebuah kegiatan dan/atau usaha
sangat terlihat jelas berdampak terhadap lingkungan hidup maupun komunitas
rakyat, maka AMDAL berada di barisan terdepan untuk mengeliminir gejolak yang
terjadi. Dengan melihat kondisi ini, maka bukan tidak mungkin AMDAL akan
berkontribusi terhadap terjadinya ekosida/ecocide (tindakan pengrusakan seluruh
atau sebagian dari sebuah ekosistem). Pemusnahan ekosistem semakin cepat
terjadi dikarenakan tidak adanya perangkat penyaring (filter) dari
kegiatan pengrusakan lingkungan hidup.
Sebagaimana telah dievaluasi di atas, proses AMDAL di
Indonesia memiliki banyak kelemahan, yaitu:
- AMDAL belum sepenuhnya terintegrasi dalam proses perijinan suatu rencana kegiatan pembangunan, sehingga tidak terdapat kejelasan apakah Amdal dapat dipakai untuk menolak atau menyetujui suatu rencana kegiatan pembangunan.
- Proses partisipasi masyarakat belum sepenuhnya optimal. Selama ini LSM telah dilibatkan dalam sidang-sidang komisi AMDAL, akan tetapi suaranya belum sepenuhnya diterima di dalam proses pengambilan keputusan.
- Terdapatnya berbagai kelemahan di dalam penerapan studi-studi AMDAL. Dengan kata lain, tidak ada jaminan bahwa berbagai rekomendasi yang muncul dalam studi AMDAL serta UKL dan UPL akan dilaksanakan oleh pihak pemrakarsa.
- Masih lemahnya metode-metode penyusunan AMDAL, khususnya aspek sosial budaya, sehingga kegiatan-kegiatan pembangunan yang implikasi sosial budayanya penting, kurang mendapat kajian yang seksama.
Jadi, dapat dikatakan bahwa persoalan lingkungan hidup
di Indonesia baru didekati secara kelembagaan dan baru berhasil dalam tingkat
politis, tetapi masih gagal dalam tingkat pelaksanaannya.
Daftar
Pustaka
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksaan Lingkungan Nasional, Edisi Kedua, Airlangga University, Surabaya, 2000
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan Kebijaksaan Lingkungan Nasional, Edisi Kedua, Airlangga University, Surabaya, 2000
Tomi Hendartomo, Permasalahan dan Kendala Penerapan
AMDAL dalam Pengelolaan Lingkungan, hal. 11.
Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan Dan
Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi Kedua, Airlangga University Press,
Surabaya, 2000, hal 132.
Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peran serta
Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Majalah Ozon Vol 3 No.5,
Januari 2002.
Majalah OZON, Vol 3 No. 3, Nopember 2001
Pihak-Pihak yang Berkepentingan dengan AMDAL
Ada tiga pihak yang berkepentingan dengan AMDAL
yaitu:
1. Pemrakarsa
Yaitu orang atau badan yang mengajukan yang
bertanggung jawab atas suatu rencana kegiatan yang akan dilaksanakan. Dipandang
dari sudut pemrakarsa, pada dasarnya perlu dibedakan antara proses pengambilan
keputusan intern dan ekstern. Dalam proses pengambilan keputusan intern pemrakarsa
menghadapi pertanyaan apakah dia akan memprakarsai suatu rencana kegiatan dan
melaksanakannya.
Proses pengambilan keputusan ekstern dihadapi
oleh pemrakarsa apabila rencana kegiatannya diajukan kepada instansi yang
bertanggungjawab untuk memperoleh persetujuan. Dalam proses ini pemrakarsa
harus menyadari mengenai rencana yang diajukan itu. Apabila instansi yang
bertangggungjawab juga bertindak sebagai pemrakarsa, maka proses pengambilan
keputusan tersebut harus dipisahkan secara intern organisasi instansi yang
bersangkutan.
2. Aparatur Pemerintah
Aparatur pemerintah yang
berkepentingan dengan AMDAL dapat dibedakan antara instansi yang
bertanggungjawab dan instansi yang terkait. Instansi yang bertanggungjawab
merupakan instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan
hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada kepala
instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah
berada pada Gubernur (Pasal 1 angka 9 PP No. 27 Tahun 1999).
3. Masyarakat
Pelaksanaan suatu kegiatan menimbulkan dampak
terhadap lingkungan Bio-Geofisik dan lingkungan sosial. Dampak sosial yang
ditimbulkan oleh pelaksanaan suatu kegiatan mempunyai arti semakin pentingnya
peran serta masyarakat
dalam kaitannya dengan kegiatan tersebut. Karena itu masyarakat sebagai subyek
hak dan kewajiban perlu diikutsertakan dalam proses penilaian AMDAL. Selain
itu, diikutsertakannya masyarakat akan memperbesar kesediaan masyarakat
memerima keputusan yang pada gilirannya akan memperkecil kemungkinan timbulnya
sengketa lingkungan.
Keterbukaan dan peran serta masyarakat merupakan
asas yang esensial dalam pengelolaan lingkungan yang baik (good
environmental governance), terutama dalam prosedur administratif perizinan
lingkungan sebagai instrumen pencegahan pencemaran lingkungan.
Dalam hubungan ini OECD menekankan tentang fungsi
peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan serta mengemukakan pula
pemikiran mengenai akses terhadap informasi
dan hakekat peran serta:
“….Information is a prerequisite to effective
public participation, and goverments have a responsibility not only to make
information on environmental matters available to the public in a tonely and
open manner, but also to ensure that citizens are able to provide constructive
and timely feedback to goverment…..”.
Maksud dan tujuan dilaksanakannya ketertiban masyarakat
dalam keterbukaan informasi dalam proses Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan adalah untuk:
- Melindungi kepentingan masyarakat
- Memberdayakan masyarakt dalam pengambilan keputusan atau rencana usaha dan atau kegiatan pembangunan yang berpotensi menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
- Memastikan adanya transparansi dalam keseluruhan proses AMDAL dari rencana usaha dan atau kegiatan.
- Menciptakan suasana kemitraan yang setara antara semua pihak yang berkepentingan, yaitu dengan menghormati hak-hak semua pihak untuk mendaptkan informasi dan mewajibkan semua pihak untuk menyampaikan informasi yang harus diketahui oleh pihak lain yang terpengaruh.
Siti Sundari Rangkuti, Keterbukaan dan Peran
Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan, Majalah OZON Volume 3 No.5,
Januari 2002, hal 59
Peranan AMDAL dalam Perencanaan Pembangunan
Otto Soemarwoto menyatakan bahwa pembangunan
diperlukan untuk mengatasi banyak masalah, termasuk masalah lingkungan.
Namun pengalaman menunjukkan bahwa pembangunan dapat membawa dampak negatif
terhadap lingkungan. Dampak negatif ini dapat berupa pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa kita harus memperhitungkan
dampak negatif dan berusaha untuk menekannya menjadi sekecil-kecilnya.
Upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal
ini adalah dengan melakukan pembangunan yang berwawasan lingkungan yaitu
lingkungan diperhatikan sejak mulai pembangunan itu direncanakan sampai pada
operasi pembangunan itu. Dengan pembangunan berwawasan lingkungan maka
pembangunan dapat berkelanjutan.
Makna pembangunan nasional bukan hanya untuk
meningkatkan ekonomi
tetapi pada dasarnya mempunyai arti yang lebih luas dari perkembangan ekonomi,
yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan dalam arti luas dimana terkandung
peningkatan mutu atau kualitas hidup. Untuk mencapai tujuan ini sumber daya manusia
merupakan peran utama di dalam memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam untuk
kepentingan manusia pula. Oleh karena itu untuk mengurangi kerusakan lebih
lanjut, maka kebijaksanaan dalam mengelola sumber daya alam
menjadi kunci utamanya.
Manusia dengan segala kemampuannya akan selalu
berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh
lingkungan hidupnya. Makin besar perubahan itu makin besar pula pengaruh
terhadap diri manusia. Untuk perubahan yang kecil manusia dengan mudah
menyesuaikan dirinya dengan perubahn itu, tetapi dalam perubahan yang besar
sering ada di luar kemampuan diri sehingga perubahan itu dalam hal-hal tertentu
dapat mengancam kelangsungan hidup.
Makin maju teknologi,
makin besar pula kemampuan manusia untuk merubah lingkungan. Pengaruh perubahan
lingkungan akibat suatu kegiatan pembangunan terhadap masyarakat,
ada yang memberikan keuntungan pada kehidupan sosial ekonomi, tetapi ada pula
yang menimbulkan kerugian terhadap kesejahteraan rakyat sehingga menambah beban
masyarakat dan mengurangi manfaat dari pembangunan itu.
Dari uraian di atas dalam rangka pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup maka nampak gambaran bagi proyek-proyek
yang akan dibangun atau yang telah berjalan, perlu diteliti sampai seberapa
besar dapat meningkatkan kualitas ligkungan hidup setempat. Selain itu
terkandung pula pengertian seberapa besar dapat memaksimumkan manfaat (dampak positif)
terhadap lingkungan yang mengandung makna harus dapat menciptakan kegiatan
ekonomi baru dan penyediaan fasilitas sosial ekonomi bagi masyarakat setempat.
Atau sebaliknya malah menurunkan kualitas lingkungan hidup dalam arti
lebih banyak memberikan kerugian (dampak negatif) bagi masyarakat sekitar.
Untuk mengatasi semua itu, analisa dampak
lingkungan adalah salah satu cara pengendalian yang efektif untuk dikembangkan.
AMDAL
bertujuan untuk mengurangi atau meniadakan pengaruh-pengaruh buruk (negatif)
terhadap lingkungan dan bukan menghambat aktifitas ekonomi. AMDAL pada
hakekatnya merupakan penyempurnaan suatu proses perencanaan proyek pembangunan
di mana tidak saja diperhatikan aspek sosial proyek itu, melainkan juga aspek
pengaruh proyek itu terhadap sosial budaya,
fisika, kimia, dan lain-lain.
Tujuan dan sasaran utama AMDAL adalah untuk
menjamin agar suatu usaha atau kegiatan pembangunan dapat beroperasi secara
berkelanjutan tanpa merusak dan mengorbankan lingkungan atau dengan kata lain
usaha atau kegiatan tersebut layak dari segi aspek lingkungan. Sedangkan
kegunaan AMDAL adalah sebagai bahan untuk mengambil kebijaksanaan (misalnya
perizinan) maupun sebagai pedoman dalam membuat berbagai perlakuan
penanggulangan dampak negatif.
Secara umum kegunaan AMDAL adalah:
- Memberikan informasi secara jelas mengenai suatu rencana usaha, berikut dampak-dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya.
- Menampung aspirasi, pengetahuan dan pendapat penduduk khusunya dalam masalah lingkungan sewaktu akan didirikannya suatu rencana proyek atau usaha.
- Menampung informasi setempat yang berguna bagi pemrakarsa dan masyarakat dalam mengantisipasi dampak dan mengelola lingkungan.
Selanjutnya dalam usaha menjaga kualitas lingkungan,
secara khusus AMDAL berguna dalam hal:
- Mencegah agar potensi sumber daya alam yang dikelola tidak rusak, terutama sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui.
- menghindari efek samping dari pengolahan sumber daya terhadap sumber daya alam lainnya, proyek-proyek lain, dan masyarakat agar tidak timbul pertentangan-pertentangan.
- mencegah terjadinya perusakan lingkungan akibat pencemaran sehingga tidak mengganggu kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan masyarakat.
- agar dapat diketahui manfaatnya yang berdaya guna dan berhasil guna bagi bangsa, negara dan masyarakat.
Melalui pengkajian AMDAL, kelayakan lingkungan
sebuah rencana usaha atau kegiatan pembangunan diharapkan mampu optimal
meminimalkan kemungkinan dampak lingkungan yang negatif, serta dapat
memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam secara efesien.
Munn (1979) sebagaimana dikutip oleh Helneliza,
mengemukakan bahwa AMDAL merupakan salah satu dari bagian perencanaan dalam
rangka menghasilkan tindakan pembangunan yang selaras dengan lingkungan,
memanfaatkan sumber daya lingkungan dengan sebaik-baiknya dan menghindari
degradasi. Di banyak negara AMDAL dinyatakan berhasil menghambat laju kerusakan
lingkungan. Hasil KTT Bumi di Rio de Jeneiro telah membuktikan hal ini, di mana
± 158 negara menyatakan bahwa AMDAL merupakan alat yang efektif dalam mencegah
kerusakan lingkungan. AMDAL sebagai bagian yang integral dari pembangunan
berkelanjutan, memberi arti bahwa sekurang-kurangnya dengan adanya AMDAL
mengingatkan pemrakarsa supaya memperhatikan kelestarian lingkungan.
Dalam membangun sebuah proyek, sebelumnya tentu
harus dilakukan identifikasi masalah mengapa suatu proyek pembangunan ingin
dilaksanakan dan tentu saja harus jelas tujuan dan kegunaannya. Selanjutnya
diadakan studi kelayakan secara teknik, ekonomis, dan lingkungan sebelum
melangkah ke perencanaan dari pembangunan proyek.
Pelaksanaan pembangunan proyek sebaiknya dimulai
setelah hasi AMDAL diketahui sehingga dapat dilakukan optimasi untuk
mendapatkan keadaan yang optimum bagi proyek tersebut. Dalam hal ini, dampak
lingkungan dapat dikendalikan melalui pendekatan teknik dan pengendalian limbah
sehingga dapat menghasilkan biaya
pengelolaan dampak yang murah dan kelestarian lingkungan dapat dipertahankan.
Menurut Imam Supardi, pengelolaan lingkungan
dalam usaha menghindari kerusakan akibat dari satu proyek pembangunan baru
dapat dilakukan setelah diketahui dampak lingkungan yang akan terjadi akibat
dari proyek-proyek pembangunan yang akan dibangun. Untuk menghindari terjadinya
kegagalan dalam pengelolaan lingkungan, maka harus selalu dilakukan pemantauan
sejak awal pembangunan secara berkala. Hasil pemantauan ini dapat dipakai untuk
memperbaiki bahkan mengubah pengelolaan lingkungan, jika memang hasil
pemantauan tidak sesuai dengan pendugaan pada AMDAL atau sebaliknya juga dapat
dipakai untuk mengoreksi pendugaan AMDAL yang mungkin kurang mengena.
Dari hasil AMDAL dapat diketahui apakah proyek
pembangunan berpotensi menimbulkan dampak atau tidak. Bila berdampak besar
terutama yang negatif, tentu saja proyek tersebut tidak boleh dibangun atau
boleh dibangun dengan persyaratan tertentu agar dampak negatif tersebut dapat
dikurangi sampai tidak membahayakan lingkungan. Dampak negatif yang perlu
diperhatikan adalah:
- Apakah dampak negatif yang mungkin timbul itu melampaui atau tidak, batas toleransi pencemaran terhadap kualitas lingkungan.
- Apakah dengan banyak yang akan dibangun ini atau tidak atau akan menimbulkan gejolak terhadap banyak pembangunan lain atau masyarakat.
- Apakah dampak negatif ini dapat mempengaruhi kehidupan atau keselamatan masyarakat atau tidak.
- Seberapa jauh perubahan ekosistem yang mungkin terjadi sebagai akibat pembangunan proyek ini.
Bila berdasarkan AMDAL tidak akan menimbulkan
dampak yang berarti, maka proyek pembangunan dapat dilaksanakan sesuai usulan
dengan tetap berpedoman agar tetap memperhatikan dampak-dampak negatif yang
mungkin timbul, diluar perkiraan semula. Dalam hal ini, sebelum proyek
dilaksanakan haruslah ditentukan dulu pedoman pengelolaan dan pemantauan
lingkungan sebagai usaha menjaga kelestariannya.
Perlu kiranya ditekankan, AMDAL sebagai alat
dalam perencanaan harus mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan tentang
proyek yang sedang direncanakan. Artinya, AMDAL tidak banyak artinya apabila
dilakukan setelah diambil keputusan untuk melaksanakan proyek tersebut. Pada
lain pihak juga tidak benar untuk menganggap AMDAL sebagai satu-satunya faktor
penentu dalam pengambilan keputusan tentang proyek itu.
Yang benar ialah AMDAL merupakan masukan tambahan
untuk pengambilan keputusan, disamping masukan dari bidang teknis, ekonomi, dan
lain-lainnya. Misalnya dapat saja terjadi laporan AMDAL menyatakan bahwa suatu
proyek diprakirakan akan mempunyai dampak lingkungan yang besar dan penting.
Namun pemerintah
berdasarkan atas pertimbangan politik atau
keamanan yang mendesak memutuskan untuk melaksanakan proyek tersebut. Yang
penting untuk dilihat dalam hal ini adalah keputusan tersebut diambil tidak
dengan mengabaikan aspek lingkungan, melainkan setelah mempertimbangkan dan
memperhitungkannya.
Dengan ini keputusan tersebut diambil dengan menyadari
sepenuhnya akan kemungkinan akan terjadinya dampak lingkungan yang negatif.
Maka pemerintah pun dapat melakukan persiapan untuk menghadapi kemungkinan
tersebut sehingga kelak tidak akan dihadapkan pada suatu kejutan yang tidak
menyenagkan dan tidak terduga sebelumnya. Dengan persiapan ini dampak negatif
dapat diusahakan menjadi sekecil-kecilnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 27 TAhun 1999 Bab III tentang Tata Laksana, Lembaran Negara Nomor 59 Tahun 1999.
Soeryono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
S.P Hadi, Aspek Sosial AMDAL Sejarah, Teori dan Metode, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1995.
Helneliza, Evaluasi Dokumen AMDAL, Tesis Program Pasca Sarjana Unand, Padang, 2006.
Imam Supardi, Lingkungan Hidup & Kelestariannya, Alumni, Bandung, 2003.
Otto Soemarwoto, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 57.
diambil dari:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar